Jakarta, ITB Career Center - Indonesia Human Capital Summit 2017 hadir dengan tema Fostering Indonesian Heroes: The Future Competitive Great Talent. Pemilihan Indonesian Heroes atau para pahlawan Indonesia sejalan dengan momentum Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November. Acara ini merupakan salah satu program sharing knowledge, wawasan dan informasi di antara para pegiat human capital di Indonesia. Melalui kegiatan ini, seluruh stakeholder di bidang human capital di Indonesia untuk saling belajar dan saling berbagi mengenai pengembangan strategi dan solusi human capital di Indonesia
Dr. Eng. Bambang Setia Budi, ST, MT selaku Direktur ITB Career Center dan Presiden Indonesia Career Center Network (ICCN) mengikuti sesi demi sesi di program acara 2nd Indonesia Human Capital SUMMIT 2017 di Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta. Acara ini digagas oleh Forum Indonesia Human Capital atau FIHC dari kumpulan 118 BUMN di seluruh Indonesia seperti TELKOM, Bank MANDIRI, BNI, BRI, Pertamina, PLN, PT KAI, Angkasa Pura, Adikarya, beserta anak perusahaan BUMN lainnya. Jumlah pesertanya tercatat lebih dari 1200 orang. Acara diselenggarakan selama dua hari, yaitu 9 hingga 10 November 2017.
Berikut catatan penting yang ditulis langsung oleh Direktur ITB Career Center, Dr. Eng. Bambang Setia Budi, ST, MT setelah mengikuti acara ini pada hari pertama. Ada beberapa opini pribadi dengan harapan untuk bisa berbagi sebagian materi, diskusi, pengetahuan, wawasan, dan isu yang berkembang yang perlu diketahui serta bermanfaat bagi pembaca/pemerhati SDM yang tidak berkesempatan hadir umumnya, dan anggota Indonesia Career Center Network atau para pegiat pusat karir di kampus-kampus khususnya.
Keynote Speaker
Keynote speaker hari pertama Indonesia Human Capital Summit 2017 menghadirkan Prof. Rhenald Kasali, PhD selaku Founder Rumah Perubahan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia dan Rudiantara S.Stat. MBA selaku Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Tema yang diangkat adalah Stimulating Economies through Fostering Talent & Developing Digital Leadership. Dalam sharing season ini, pembicara menekankan pada bagaimana mengantisipasi dan merespon apa yang disebut Future Disruption sebagai dampak dari world of digital technology.
Dibahas juga mengenai masa lalu yang serba jelas, tertentu, dan cenderung stabil, sementara masa kini dan masa depan yang serba tidak menentu, dan tidak stabil. Kini terdapat realitas orang-orang tua yang kaya pengalaman tetapi sudah usang, apalagi CEO atau manager yang usianya diatas 50 tahun, memiliki banyak pengalaman tetapi menjadi lamban dan terbelenggu masa lalunya sendiri. Berbanding terbalik dengan anak-anak muda yang lahir dari generasi baby boomers yang tidak tahu dengan masa lalu tetapi memiliki gagasan masa depan.
Persaingan bisnis era ini adalah persaingan bisnis model. Yang menang hari ini dan menjadi kanibal adalah mereka yang memiliki karakteristik: simpler (lebih sederhana), cheaper (lebih murah - karena sharing resource), accessible (lebih terjangkau), dan faster (lebih cepat).
Ada banyak jenis pekerjaan yang akan tereliminasi/hilang, namun ada banyak jenis pekerjaan yang baru yang tidak dibayangkan sebelum ini. Bahkan tidak sampai 20 tahun kedepan, pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan seperti ini akan hilang: kasir, loper koran, banker, guru besar di universitas, dll. Sementara yang muncul adalah pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan teknologi seperti youtuber, big data, blogger, dll.
Sejujurnya, saya tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan ekstrim tentang pekerjaan yang hilang ini khususnya guru besar di Universitas. Bukan karena saya adalah dosen sebagaimana juga Pak Renald Kasali, tetapi statemen itu terlalu latah yang ada dimana-mana yang mengagungkan perubahan ini, dan menghilangkan kekritisan kita. Saya tidak percaya bahwa pekerjaan ini akan hilang begitu saja (guru besar/dosen/pengajar di Universitas) tetapi hanya sedikit berkurang atau itu hanya sebagiannya (saja) yang mungkin berubah menjadi fasilitator. Mengajar, membimbing, dengan tetap ada interaksi guru-murid tidak mungkin hilang begitu saja, karena di sana ada wisdom atau kebijaksanaan, relasi kemanusiaan yang otentik, dan ada nilai-nilai yang tidak mungkin tergantikan dengan atau oleh teknologi digital itu sendiri.
Catatan penting dari apa yang perlu diperhatikan, beberapa kata kunci di sini adalah open mind vs disruptive, self disrupted mentality - self disruptive innovation, self driving: be a great driver dan adaptive. Dalam skala personal/individu bagaimana kita perlu work dan life yang seimbang (balance), dalam skala profesional kita perlu mengubah posisi vs gaya kepemimpinan, adanya target yang berkali lipat dan selalu siap menghadapi penantang baru. Dalam talent, akan muncul talent-talent baru dan culture baru . Corporate culture harus disegarkan kembali bila tidak bersiaplah untuk mati. Itu semua menjadi tantangan semua eksekutif. Dan pesan terakhir, masa depan itu ada di desa bukan di kota.
Sesi berikutnya adalah bertajuk Special Interview: Indonesian Young Heroes, menampilkan Arief Widhiyasa (CEO dan Co-Founder Agate) yang drop out dari prodi Teknik Informatika ITB namun sukses membangun perusahaan bisnis game developer, kini mempunyai 127 talent/game developer dan innovators di kantornya. Lalu Musa Izzanardi Wijanarko, mahasiswa prodi Matematika ITB angkatan 2016, dimana usia saat masuk ITB baru 14 tahun, mahasiswa termuda di Indonesia yang bila dibandingkan dengan usia rata-rata anak Indonesia semestinya masih duduk di kelas 2 SMP. Uniknya ini anak tidak pernah sekolah formal, tetapi home schoolling, dengan ujian baik tingkat SD, SMP dan SMA-nya menempuh ujian kesetaraan atau paket (A, B, dan C). Dua yang di wawancara lainnya adalah pemain badminton Tontowi A dan Liliyana N.
Ada kegundahan tersendiri ketika dua mahasiswa ITB yang boleh saya sebut agak nyeleneh atau masuk dalam kategori extra ordinary talent ini. Memang tidak dipungkiri bahwa ada orang-orang tertentu yang seperti itu, termasuk di dunia ini siapalah yang tak kenal nama Mark Zuckerberg atau Bill Gates, yang dua-duanya juga gagal saat kuliah di Harvard dan MIT atau alias drop out tetapi mereka nyatanya sukses dan menjadi inovator dan pemimpin kemajuan dunia saat ini. Atau bahkan siapa yang tak kenal Jack Ma dan bagaimana riwayat pendidikannya. Kalau di arsitektur, siapa yang tak kenal Tadao Ando, seorang great architect dan guru besar arsitektur di Tokyo University (saat ini sdh pensiun digantikan Kengo Kuma) yang tidak pernah kuliah arsitektur baik S1, S2, apalagi S3.
Kegundahan saya adalah jangan sampai yang seperti ini merubah mindset kita bahwa mereka adalah contoh untuk legitimasi bahwa untuk sukses tidak perlu lulus atau tidak perlu berhasil dalam pendidikan formalnya, hingga menggeneralisir kondisi sebenarnya. Perlu kita ketahui bahwa jumlah yang seperti itu hanya nol koma sekian persennya dari orang-orang sukses dan berpengaruh. Kalau tidak kritis kita bisa terjebak pada logika yang keliru dan tidak rasional karena statistically error. Jauh lebih banyak yang sukses adalah yang tidak seperti itu selebihnya banyak yang terpuruk atau biasa-biasa saja.
Plenary Session 1 dan 2
Diisi oleh Saikat Chatterjee seorang senior HR Executive Advisor CEB, tajuknya Global Meritocracy: Develop Local Talent and Attract Global Talent. Disini yang menarik seperti bagaimana kriteria menjadi global talent:
1. Ability to Influence (kemampuan memberi pengaruh)
2. Ability to Work in diverse (kemampuan untuk bekerja di tengah keragaman, inklusif)
3. Ability to Adapt in different culture, region and environment (kemampuan beradaptasi di dalam budaya, lingkungan dan wilayah yang berbeda).
Berikutnya diisi oleh Arcandra Tahar, professional talent yang menjadi wakil menteri ESDM, lalu Livi Zheng, seorang wanita Indonesia yang luar biasa talentanya dan menjadi produser dan Director film Hollywood, Sun and Moon Films, dan satu lagi Dino Patti Jalal, Founder Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). Arcandra dan Livi lebih bercerita tentang riwayat dan jatuh bangunnya hingga bisa berkarya di Amerika. Sementara Dino lebih kepada pesan-pesan dan kriteria-kriteria kesamaan para talent-talent diaspora Indonesia yang berkarya di luar negeri yang angkanya mencapai antara 6-7 juta orang.
Kelebihan talenta Indonesia secara umum adalah rajin, tekun, semangat belajar yang tinggi sehingga bisa dan siap dilatih. Sementara kekurangannya yang mencolok adalah rendahnya kemampuan presentasi (presentation skill) yang mungkin berangkat dari kurang percaya diri atau minder. Kurangnya confidence ini terlihat dari lemahnya mengartikulasikan gagasan, pemikiran dan konsepnya saat presentasi. Mungkin juga karena budaya di sini yang merendah, atau rendah hati, tidak sombong dan lain sebagainya. Namun ini harus dibedakan antara menawarkan diri dan untuk naik jenjang atau memaparkan kemampuan diri dengan pada saat memimpin orang-orang yang sukses. Untuk memimpin orang-orang sukses betul sekali harus rendah diri, low profile dan sebagainya.
Ada ciri kesamaan dari orang-orang sukses itu, meski latar belakang dan kondisinya beda-beda, yakni yang disebut GRIT dan Persistence, dimana orang-orang itu tidak mau dan tidak mudah menyerah, ada ketekunan, keuletan, dan kesungguhan luar biasa yang tidak mau mundur dalam melangkah. Ini yang perlu digaris bawahi agar menginspirasi anak-anak Indonesia untuk meraih karir dan sukses tertingginya. Ada meritokrasi, dan pintar (dengan knowledge, ilmu pengetahuan, wawasan) saja tak cukup tetapi perlu cerdas dengan ciri mampu menerapkannya dalam kondisi-kondisi yang bisa saja sangat berbeda dan berubah-rubah.
Hari pertama ini ditutup dengan Talkshow: BUMN Hadir untuk Negeri, dengan menghadirkan Hambra S.H, M.Hum, Deputy of Business Infrastructure, Kementrian BUMN dan Herdy Harman Chairman Forum Human Capital Indonesia (FHCI). Yang penting dicatat, bahwa BUMN harus menjadi agen pengembangan dan bagaimana meningkatkan value dari BUMN. Acara hari pertama berakhir hingga pukul 18.30 WIB.
(Dr. Eng. Bambang Setia Budi, ST., MT)